Perempuan dan Syariat Islam/Women and Syariat Islam


Sabtu/Saturday, April 24, 2010, 4.30PM, @ GoetheHaus
Selasa/Tuesday, April 27, 2010, 2.15PM @Kineforum TIM
                                           
Mencari Kartika
Norhayati Kaprawi; Ucu Agustin, 2010, documentary, 30’, Melayu with English subtitle

In 2009, Malaysia, which is hailed as a modern progressive Muslim country was, shocked upon the whipping punishment on Kartika, a Muslim woman who drank beer. While some oppose the sentence, a surprisingly large majority of Muslims in Malaysia support the whipping. 

Pada tahun 2009, Malaysia yang dipuji sebagai negara Islam progresif modern dikejutkan atas putusan hukum cambuk terhadap Kartika, seorang perempuan muslim yang meminum bir. Sementara beberapa kalangan menentang hukuman tersebut, yang mengejutkan, sebagian besar umat Islam di Malaysia mendukung hukuman itu.

Premiere. Directors in attendance.

Makkunrai Makkutana:The Woman Who is Questioning...
The Indonesian Women’s Empowerment in Muslim Contexts Team, Indonesia , 19’30”, documentary, 2009, Indonesian with English subtitle

This film tells the story of the journey and reflections of a Muslim woman who learnt about the sad case of a teenage girl named Siti. Siti was sentenced to whipping by her family and leaders of her community in the Muslim village of Padang, Bulukumba, South Sulawesi. The main female leader asked several younger and older women whether they agreed with whipping as punishment. One day she came to Padang village and met with Siti and her family to talk about the experience. She obtained the opinions of leaders in the village and the district Legal Bureau of Bulukumba. From the perspective of a Muslim woman, this film relates various controversial facts underlying whipping as a punishment: it does not accord with the values of Islam that the protagonist grew up with, nor with the secular state system in Indonesia.
Film tentang refleksi seorang perempuan Muslim yang mengetahui kisah sedih seorang remaja bernama Siti. Siti dihukum cambuk oleh keluarga dan para tetua Muslim di desa Padang, Bulukumba, Sulawesi Selatan. Pemimpin perempuan meminta pendapat perempuan yang muda dan tua, apakah mereka setuju atau tidak dengan hukuman itu. Satu kali dia berkunjung ke desa Padang, bertemu Siti dan keluarganya, membicarakan pengalaman tersebut. Dia mendapat opini para pemimpin desa dan biro Hukum di Bulukumba. Dari perspektif perempuan Muslim, film ini terkait dengan berbagai fakta controversial yang mendasari hukuman cambuk, yang tidak sesuai dengan nilai Islam ataupun sistem sekuler di Indonesia.       

Connexxreen:Perempuan dan Syariat Islam
In 2007, Connexxcreen held a video workshop for women in Aceh. This program resulted in three short films made by the participants with the theme of Women and Syariat Islam. Producer in attendance.

Pada tahun 2007, Connexxcreen mengadakan lokakarya penggunaan video yang melibatkan para perempuan di Aceh. Program ini mengetengahkan tiga film pendek yang dibuat oleh peserta loka karya dengan tema utama, ‘Perempuan dan Syariat Islam’. Produser akan datang untuk mempresentasikan film.

Meuneunggui  (Mode/Fashion)
Lhokseumawe, 20’
Tim pembuat: Syfa, Rara, dan Lena
We are taken on a tour of a traditional Acehnese market, which provides commodities not only for everyday life, but also women’s clothing such as the Moslem long tunic, long veil (jilbab) and... ah ha... the fashionable tight T-shirt. Then we will hear opinions on fashionespecially on how women’s costume relates to Qonun Syariat Islam — from vendors, girls and boys, owners of a beauty parlor, young and old women, academics and the Syariah police. Unintentionally shot while filming is an image of the sweeping male Moslem costume of Syariat Islamsarong and white shirt — worn by a group of men, which is a now-common sight in Aceh.
Penonton diajak menelusuri pasar tradisional Aceh yang menyediakan berbagai kebutuhan sehari-hari. Pasar ini juga menawarkan busana perempuan seperti baju kurung, jilbab, dan, aha.... kaos ketat yang sedang digandrungi anak muda!Penonton kemudian diajak menyimak beragam pandangan tentang fashion, khususnya busana perempuan terkait dengan pelaksanaan Qonun Syariat Islam. Bermacam pandangan dari berbagai kalangan terlontar, mulai dari pendapat para penjual baju, cowok-cewek baru gede atau ABG, pemilik salon, perempuan tua dan muda, akademisi, hingga polisi syariah.
Meuneunggui juga berhasil menangkap praktik sweeping busana muslim atas nama Syariat Islam oleh sekelompok laki-laki bersarung dan berbaju putih, yang belakangan merebak di Aceh.

Bungong ( Bunga) Banda Aceh, 10’
Tim pembuat:Mahyana, Rida, dan Tata
A sketch of women and men’s life in Banda Aceh — the routine activities of mothers nursing their children, washing dishes, and also serving the sexual needs of their husbands discussed openly in a simple coffee stall (warung), a free space for men.
Bungong also enlightens us through a touching testimony of a woman wearing a jilbab, who describes how her breasts were fondled by an anonymous man when she was walking on a quiet street. Unluckily, it happened during Friday prayer time. An interesting opinion comes from a police officer, who says that a woman will be respected if she respects her own body by wearing the jilbab: she will be safe from a man’s attack.        
Film ini memperlihatkan sketsa tentang kehidupan perempuan dan lelaki di Banda Aceh. Kesibukan dan rutinitas para ibu dalam mengasuh anak, mencuci piring, juga melayani kebutuhan seks suami dibenturkan dengan suasana kedai kopi sebagai ruang bebas-merdeka para lelaki.   
Bungong juga menonjok kesadaran dengan menampilkan kesaksian memilukan seorang perempuan berjilbab yang payudaranya diremas laki-laki tak dikenal ketika sedang bergegas di jalan raya yang sepi. Celakanya, peristiwa itu terjadi pada waktu shalat Jumat. Yang menarik pendapat dari polisi syariah (WH, Wilayatul Hisbah) yang mengatakan  bahwa perempuan akan dihargai jika menghargai tubuhnya (dengan berjilbab) dan secara otomatis akan aman dari gangguan para lelaki.   
Bak Lon Kaloen (Dalam Pandanganku) Banda Aceh, 10’
Tim pembuat: Karmita, Sri Meutia dan Firah Ramadhiana
This film describes the practical teachings of Qonun Syariat Islam and examines information from the Wilayatul Hisbah (Syariah police) — things to be done, procedures, the practicalities of a jilbab raid — and raises questions such as what should and should not be done. Currently, the public don’t criticize or stand up against the activities of Wilayatul Hisbah and other similar groups. Partly this is because there is not enough information about the terrible things done by the “police”.
Film ini mengajak penonton memahami praktik Qonun Syariat Islam dengan menggali informasi dari Wilayatul Hisbah (polisi syariah): apa tugas mereka, apa yang dikerjakan, bagaimana prosedurnya, bagaimana dengan praktik razia jilbab, hingga pertanyaan, apa yang seharusnya mereka lakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan. Saat ini masyarakat kerap tidak berani mengritik atau melawan praktik kesewenang-wenangan Wilayatul Hisbah dan kelompok sipil lainnya, karena tidak cukup informasi terkait kewenangan para "penegak" Qonun tersebut.   


Producer in attendance.